ARTIKEL KITA
MAHASISWA DAN EKSISTENSI BAHASA
INDONESIA
Oleh:
Okto Dwi Winarto
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu
bagi bangsa Indonesia. Selain itu bahasa Indonesia juga digunakan sebagai
penunjuk identitas dan kepribadian bangsa Indonesia. Melihat pentingnya peran bahasa Indonesia
tersebut, bahasa Indonesia dijadikan sebagai mata pelajaran wajib yang
diajarkan dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Akan tetapi,
yang sangat mengherankan sebagai waga negara Indonesia yang mengenyam
pendidikan dan mempelajari bahasa Indonesia dari kecil masih banyak yang belum
mengerti dalam penggunaan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis.
Permasalahan
tersebut terlihat masih banyaknya pelajar atau mahasiswa yang memiliki nilai
ujian yang masih rendah pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
adalah bahasa yang sangat dikenal di berbagai negara. Bahkan, di negara
tetangga Timur Leste misalnya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa kerja.
Dari perspektif linguistik, bahasa Indonesia merupakan salah satu dari ragam
bahasa Melayu. Penyebutan “Bahasa Indonesia” diawali dengan dicanangkannya
Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, hal ini untuk menghindari kesan adanya
“imperialisme bahasa”
apabila nama bahasa Melayu
tetap dipakai sebagai bahasa Nasional.
Oleh karena itu bangsa Indonesia resmi menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
Nasional. Bahkan saat ini, bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang tetap eksis, dan terus berkembang menghasilkan
kata-kata yang baru, baik melalui proses penciptaan maupun penyerapan dari
bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun bahasa Indonesia diketahui dan
dituturkan oleh mayoritas warga Indonesia. Ternyata bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu
bagi kebanyakan penuturnya yaitu warga asli Indonesia.
Sebagian
besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.
Fonologi, morfologi dan tata bahasa Indonesia dianggap relatif mudah dimengerti
dan dipahami. Tidak jarang mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di Fakultas
Bahasa dan Sastra menggampangkan materi-materi tersebut. Pertanyaannya sekarang
setelah kurang lebih 12 tahun belajar bahasa
Indonesia, apakah pada implementasinya mereka sudah mampu berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, baik secara lisan dan tulis? Kemudian bagaimana dengan
kemampuan berbahasa Indonesia pada mahasiswa S2? ternyata sebagian besar dari mereka juga
masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Masih banyak ditemukan kesalahan
berbahasa misalnya, kata yang tidak baku, kalimat yang tidak efektif,
ambiguitas dan masih banyak lagi. Hal ini menjadi evaluasi bagi pelajar atau
mahasiswa baik itu jurusan bahasa dan non-bahasa untuk tetap belajar dan
berusaha menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Fakta-fakta di atas membuktikan gambaran
ketidakmampuan sebagian besar pelajar atau mahasiswa dalam berbahasa Indonesia
khusunya bahasa tulis. Melihat kenyataan tersebut lalu apa yang harus
dikerjakan para pengajar bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar
sarjana bahasa Indonesia? Tentunya
jika mereka tidak mempelajari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dengan baik
siapapun dia pasti akan mengalami kesulitan untuk menerapkan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Oleh karena itu, setiap
pengajar atau dosen harus mampu menjadi pengajar bahasa Indonesia dengan baik, serta
meningkatkan sensitifitas terhadap fenomena-fenomena bahasa yang ada pada
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari
para mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama
belajar bahasa Indonesia dalam sebuah proses pembelajaran. Jika beberapa upaya
ini dapat diterapkan dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan senang hati oleh para dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa, maka
kita yakin para lulusan perguruan tinggi dari S1 sampai S3 tidak hanya mampu
dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga
sungguh-sungguh mendalami dan mencintai bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.